KERETA API
Semua berawal di
suatu
hari yang mendung dengan matahari bersinar redup tertutupi awan kelabu. Namaku Mita,
seorang mahasiswi di universitas ternama di Bintaro, pada tingkat strata 2
bidang ekonomi. Tinggal bersama keluarga yang lumayan mapan, di rumah sederhana
tetapi terasa amat mewah. Seperti biasa, aku terbangun oleh alarm hp-ku yang berbunyi ringtone klakson kereta api yang selalu bisa membangunkanku. Bangun dengan wajah yang masih penuh kantuk dan
rambut panjang sampai dada yang menutupi mata, seperti ‘kuntilanak’ sehabis
begadang mengerjakan thesis. Setelah
melakukan ibadah wajibku, aku langsung menonton televisi yang ada di kamarku. “Hari
ini bisa santai nonton tv, enaknya masuk siang hehe,” pikirku. Tidak lama
kemudian, aku pun merasa lapar dan pergi ke warung ‘Mak Gede’. Kebetulan hari
itu pembantuku tidak datang dan aku
sendiri juga kurang berbakat di dapur. Setelah kembali dari warung dengan perut kenyang, aku pun mandi dan
mempersiapkan buku – buku untuk dimasukkan ke tas dan dibawa ke kampus.
Tengah membereskan tas, tiba – tiba “TARRR!” terdengar
seperti gelas pecah di ruang tamu. Aku segera berlari keluar kamar menuju ruang
tamu untuk memeriksa suara tadi. Sampai di ruang tamu, kulihat kayu yang berbentuk persegi
panjang dengan tali yang putus terjatuh di lantai. Ternyata itu adalah sebuah pigura
dan di balik pigura tersebut terdapat foto ayahku yang sudah lama pergi. Ia
meninggal tahun 1987, sewaktu aku baru berumur beberapa bulan. Ayahku meninggal
karena kecelakaan kereta api di Bintaro atau banyak orang yang menyebutnya
dengan Tragedi Bintaro. Beberapa menit kupandangi terus wajah ayahku di foto
itu, lamunanku terhenti oleh suara ketukan pintu. Aku segera menutupi foto
tersebut dengan badanku kemudian menghapus air mata.
Sangat mengejutkan melihat Ibu di balik pintu. “Kok ibu sudah
pulang?” tanyaku. “Tadi harusnya ibu rapat, tapi pimpinan enggak bisa dateng jadinya
dipulangin,” “kamu sendiri kok belum berangkat?” tanya ibu.
“Kan masuk siang bu, masa lupa?”
“Lah kamu kan masuk jam 12, sekarang udah jam 11 loh!”
“Iya apa? Waduh, ya udah aku berangkat dulu ya bu,” aku
segera mengambil tas dan kunci, kemudian pergi menghampiri motor ‘mio’ – ku.
Aku segera menyalakan motor, tapi sebelum berangkat ke stasiun aku berlari
kembali ke dalam rumah dan mengecup pipi ibuku yang terasa dingin bekas AC
mobilnya. Jarak dari rumahku ke stasiun lumayan dekat, sekitar 10 menit sampai.
Setelah memarkir motor dengan sedikit miring karena buru – buru, aku berlari ke
penjual tiket untuk membeli tiket tujuan stasiun Pondo Ranji. Saat aku masuk ke peron, kereta
sudah sampai dan sebentar lagi akan berangkat. “Apakah aku harus lari ke pintu
kereta atau menunggu kereta berikutnya?” gumamku. Akhirnya aku memilih untuk
mengejar kereta itu. Saat aku hampir sampai ke pintu, kereta commuter line tersebut sudah mulai
bergerak, aku pun melompat masuk. Beruntung pintu otomatis masih dapat dibuka dan penumpang
saat itu sedikit, sehingga aku bisa masuk dengan gampang.
Seperti biasa, aku naik di gerbong paling depan, khusus
wanita. Tiba – tiba aku mendapat telepon dari temanku bernama Susi, aku segera
menjawabnya “Halo, eh Mita, kamu lagi di mana?” Tanya Susi kepadaku. “Ehh, aku
lagi di kereta, ada apa Sus?” Tanyaku kembali.
“Oh lagi di kereta ke kampus ya? Bisa turun Sudimara enggak Mit?
temenin aku, aku juga mau ke kampus. “
“Aduh, sori Sus aku lagi buru – buru nih!” Tolakku.
“Oh ya udah deh, maaf ganggu nih hehe.”
“Oke oke enggak papa kok,” aku menutup telepon dan melanjutkan perjalanan.
Tidak terasa, aku sudah tiba di stasiun Sudimara. Dari jendela kaca hanya
terlihat orang, orang dan orang. “teng tong!” sepertinya pintu akan segera
dibuka, aku langsung pindah tempat duduk di pinggir kursi. “Brace for impact!,” kataku dalam hati. Saat
pintu dibuka, seketika gerbong penuh dengan penumpang, sangat merusak
pemandangan. Awalnya aku sempat berpikir untuk turun di Sudimara karena takut tidak bisa keluar
di Pondok Ranji dan sekalian menemani Susi ke kampus. “Ah daripada resiko
telat, kelasnya pak Jono nih!” pikirku. “teng tong” “Perhatian, kereta api arah
stasiun Pondok Ranji, Kebayoran, dan Tanah Abang akan segera berangkat,” bunyi
dari pengeras suara stasiun. Tidak lama, aku – pun melanjutkan perjalanan.
Tidak lama setelah berangkat dari stasiun Sudimara, mendadak
terdengar suara decitan rem kereta api. Aku yang saat itu sedang diserang
kantuk, langsung terbangun oleh suara tidak sedap tersebut. Aku segera menoleh
ke depan kereta, kulihat sebuah tulisan “P E R T A M I….” tiba
– tiba terdengar suara ledakan yang lebih menyakitkan daripada rem kereta api
tadi. Terlihat aura yang merah membara mengejarku, aku mencoba untuk lari, tapi
aku justru terlempar. Aku merasa sangat panas dan semakin panas, dinding dan
langit – langit kereta api seperti berputar – putar. Kemudian terhenti, aku
terjatuh tidak sadarkan diri.
Begitulah
aku sampai di sini, berdiri di atas kumpulan bulu – bulu yang amat lembut,
bagaikan bantal di kasur kamarku. Sejauh mata memandang hanya bulu dan bulu dan
bulu. Tiba – tiba terasa air menetes di telapak tanganku, sepertinya gerimis.
Ku lirik langit – langit, kulihat matahari bersinar terang. Kubiarkan saja,
tetapi air terus menetes, kemudian kulirik kembali dan tetap matahari terang
yang kulihat. Dengan rasa heran, kucoba amati lagi matahari yang indah itu.
Setelah kuamati, lama – kelamaan matahari itu terlihat seperti lampu dan air
tadi bukanlah air hujan, melainkan air mata seseorang yang menetes di sampingku. Apa yang sedang terjadi? Sebelum kudapat
melihat wajah orang itu, tiba –
tiba ruangan menjadi gelap, dan terus menggelap hingga aku tidak bisa melihat
apa – apa. Dari semua kegelapan itu,
muncul cahaya dari kejauhan, cahaya itu
memeliki titik di tengahnya. Kemudian kucoba untuk menghampiri cahaya tersebut.
Semakin
aku mendekat, titik itu berubah wujud menjadi seorang pria. Bentuk lelaki itu
semakin menjadi – jadi dan tiba – tiba ia mengangkat tangannya, kemudian
mengerakkannya sepertinya ia melambaikan tangannya padaku. Aku berlari
sekencang – kencangnya sampai aku akhirnya dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Aku berhenti di depannya dan menangis saat aku sadar bahwa dia adalah, ayahku. Ia
melambaikan tangannya seperti menyuruhku untuk menghampirinya. Tanpa pikir panjang, akupun segera berlari dan memeluknya.
“Apakah engkau ingat terhadap mukaku?” tanyanya. “Tentu, setiap hari aku
memandangi fotomu, berharap bertemu engkau suatu hari!” jawabku.
“Sekarang
engkau telah bertemu dengaku, apakah kau senang?”
“Sangat!”
jawabku yang semakin menangis.
“Apakah
engkau ingin selamanya bersamaku?”
“Tentu
yah, kenapa tidak?”
“Tapi
nanti apakah Ibumu tidak kesepian?” air mulai menetes lagi.
“Tapi
aku ingin tetap bersamamu ayah.”
“Hmm ya sudah kalau begitu, maafkan ayah,” ayah tiba – tiba memelukku dengan sangat kencang. Aku
merasa badanku terdorong ke
atas
dan terhembus ke udara, aku segera membuka mataku dan melihat ayahku semakin
menjauh. Aku mengulurkan tanganku mencoba menggapai ayah, airmata tidak
tertahan. Pandanganku terhadap ayah dengan cepat menghilang dan semua berubah
menjadi putih. Aku mengejapkan mata, rasanya aku tertarik ke atas dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Bagian – bagian tubuhku seperti akan lepas,
pikiranku kacau balau.
Seketika
semua tekanan tadi terhenti dan aku merasakan hangat di tubuhku, hangat yang sangat
nyaman. Kubuka mataku dan kulihat sekeliling, ada lampu yang mirip dengan
matahari, tetapi tidak ada air yang menetes. Satu – satunya wajah yang kulihat
hanya ibuku tercinta tersenyum di hadapanku. Air mulai menetes lagi, air
kebahagiaan.
Sampai
jumpa ayah…
Karya : Fairuz Gianirfan N
gak nyangka endingnya...
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete