Wednesday, February 5, 2014

KERETA API



KERETA API

Semua berawal di suatu hari yang mendung dengan matahari bersinar redup tertutupi awan kelabu. Namaku Mita, seorang mahasiswi di universitas ternama di Bintaro, pada tingkat strata 2 bidang ekonomi. Tinggal bersama keluarga yang lumayan mapan, di rumah sederhana tetapi terasa amat mewah. Seperti biasa, aku terbangun oleh alarm hp-ku yang berbunyi ringtone klakson kereta api yang selalu bisa membangunkanku. Bangun dengan wajah yang masih penuh kantuk dan rambut panjang sampai dada yang menutupi mata, seperti ‘kuntilanak’ sehabis begadang mengerjakan thesis. Setelah melakukan ibadah wajibku, aku langsung menonton televisi yang ada di kamarku. “Hari ini bisa santai nonton tv, enaknya masuk siang hehe,” pikirku. Tidak lama kemudian, aku pun merasa lapar dan pergi ke warung ‘Mak Gede’. Kebetulan hari itu pembantuku tidak datang dan aku sendiri juga kurang berbakat di dapur. Setelah kembali dari warung dengan perut kenyang, aku pun mandi dan mempersiapkan buku – buku untuk dimasukkan ke tas dan dibawa ke kampus.
Tengah membereskan tas, tiba – tiba “TARRR!” terdengar seperti gelas pecah di ruang tamu. Aku segera berlari keluar kamar menuju ruang tamu untuk memeriksa suara tadi. Sampai di ruang tamu, kulihat kayu yang berbentuk persegi panjang dengan tali yang putus terjatuh di lantai. Ternyata itu adalah sebuah pigura dan di balik pigura tersebut terdapat foto ayahku yang sudah lama pergi. Ia meninggal tahun 1987, sewaktu aku baru berumur beberapa bulan. Ayahku meninggal karena kecelakaan kereta api di Bintaro atau banyak orang yang menyebutnya dengan Tragedi Bintaro. Beberapa menit kupandangi terus wajah ayahku di foto itu, lamunanku terhenti oleh suara ketukan pintu. Aku segera menutupi foto tersebut dengan badanku kemudian menghapus air mata.
Sangat mengejutkan melihat Ibu di balik pintu. “Kok ibu sudah pulang?” tanyaku. “Tadi harusnya ibu rapat, tapi pimpinan enggak bisa dateng jadinya dipulangin,” “kamu sendiri kok belum berangkat?” tanya ibu.
“Kan masuk siang bu, masa lupa?”
“Lah kamu kan masuk jam 12, sekarang udah jam 11 loh!”
“Iya apa? Waduh, ya udah aku berangkat dulu ya bu,” aku segera mengambil tas dan kunci, kemudian pergi menghampiri motor ‘mio’ – ku. Aku segera menyalakan motor, tapi sebelum berangkat ke stasiun aku berlari kembali ke dalam rumah dan mengecup pipi ibuku yang terasa dingin bekas AC mobilnya. Jarak dari rumahku ke stasiun lumayan dekat, sekitar 10 menit sampai. Setelah memarkir motor dengan sedikit miring karena buru – buru, aku berlari ke penjual tiket untuk membeli tiket tujuan stasiun Pondo Ranji. Saat aku masuk ke peron, kereta sudah sampai dan sebentar lagi akan berangkat. “Apakah aku harus lari ke pintu kereta atau menunggu kereta berikutnya?” gumamku. Akhirnya aku memilih untuk mengejar kereta itu. Saat aku hampir sampai ke pintu, kereta commuter line tersebut sudah mulai bergerak, aku pun melompat masuk. Beruntung pintu otomatis masih dapat dibuka dan penumpang saat itu sedikit, sehingga aku bisa masuk dengan gampang.
Seperti biasa, aku naik di gerbong paling depan, khusus wanita. Tiba – tiba aku mendapat telepon dari temanku bernama Susi, aku segera menjawabnya “Halo, eh Mita, kamu lagi di mana?” Tanya Susi kepadaku. “Ehh, aku lagi di kereta, ada apa Sus?” Tanyaku kembali.
“Oh lagi di kereta ke kampus ya? Bisa turun Sudimara enggak Mit? temenin aku, aku juga mau ke kampus. “
“Aduh, sori Sus aku lagi buru – buru nih!” Tolakku.
“Oh ya udah deh, maaf ganggu nih hehe.”
“Oke oke enggak papa kok,” aku menutup telepon dan melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, aku sudah tiba di stasiun Sudimara. Dari jendela kaca hanya terlihat orang, orang dan orang. “teng tong!” sepertinya pintu akan segera dibuka, aku langsung pindah tempat duduk di pinggir kursi. “Brace for impact!,” kataku dalam hati. Saat pintu dibuka, seketika gerbong penuh dengan penumpang, sangat merusak pemandangan. Awalnya aku sempat berpikir untuk turun di Sudimara karena takut tidak bisa keluar di Pondok Ranji dan sekalian menemani Susi ke kampus. “Ah daripada resiko telat, kelasnya pak Jono nih!” pikirku. “teng tong” “Perhatian, kereta api arah stasiun Pondok Ranji, Kebayoran, dan Tanah Abang akan segera berangkat,” bunyi dari pengeras suara stasiun. Tidak lama, aku – pun melanjutkan  perjalanan.
Tidak lama setelah berangkat dari stasiun Sudimara, mendadak terdengar suara decitan rem kereta api. Aku yang saat itu sedang diserang kantuk, langsung terbangun oleh suara tidak sedap tersebut. Aku segera menoleh ke depan kereta, kulihat  sebuah tulisan “P E R T A M I….” tiba – tiba terdengar suara ledakan yang lebih menyakitkan daripada rem kereta api tadi. Terlihat aura yang merah membara mengejarku, aku mencoba untuk lari, tapi aku justru terlempar. Aku merasa sangat panas dan semakin panas, dinding dan langit – langit kereta api seperti berputar – putar. Kemudian terhenti, aku terjatuh tidak sadarkan diri.
Begitulah aku sampai di sini, berdiri di atas kumpulan bulu – bulu yang amat lembut, bagaikan bantal di kasur kamarku. Sejauh mata memandang hanya bulu dan bulu dan bulu. Tiba – tiba terasa air menetes di telapak tanganku, sepertinya gerimis. Ku lirik langit – langit, kulihat matahari bersinar terang. Kubiarkan saja, tetapi air terus menetes, kemudian kulirik kembali dan tetap matahari terang yang kulihat. Dengan rasa heran, kucoba amati lagi matahari yang indah itu. Setelah kuamati, lama – kelamaan matahari itu terlihat seperti lampu dan air tadi bukanlah air hujan, melainkan air mata seseorang yang menetes di sampingku. Apa yang sedang terjadi? Sebelum kudapat melihat wajah orang itu, tiba – tiba ruangan menjadi gelap, dan terus menggelap hingga aku tidak bisa melihat apa – apa.  Dari semua kegelapan itu, muncul cahaya dari kejauhan, cahaya itu memeliki titik di tengahnya. Kemudian kucoba untuk menghampiri cahaya tersebut.
Semakin aku mendekat, titik itu berubah wujud menjadi seorang pria. Bentuk lelaki itu semakin menjadi – jadi dan tiba – tiba ia mengangkat tangannya, kemudian mengerakkannya sepertinya ia melambaikan tangannya padaku. Aku berlari sekencang – kencangnya sampai aku akhirnya dapat melihat wajahnya dengan jelas. Aku berhenti di depannya dan menangis saat aku sadar bahwa dia adalah, ayahku. Ia melambaikan tangannya seperti menyuruhku untuk menghampirinya. Tanpa pikir panjang, akupun segera berlari dan memeluknya. “Apakah engkau ingat terhadap mukaku?” tanyanya. “Tentu, setiap hari aku memandangi fotomu, berharap bertemu engkau suatu hari!” jawabku.
“Sekarang engkau telah bertemu dengaku, apakah kau senang?”
“Sangat!” jawabku yang semakin menangis.
“Apakah engkau ingin selamanya bersamaku?”
“Tentu yah, kenapa tidak?”
“Tapi nanti apakah Ibumu tidak kesepian?” air mulai menetes lagi.
“Tapi aku ingin tetap bersamamu ayah.”
Hmm ya sudah kalau begitu, maafkan ayah, ayah tiba – tiba memelukku dengan sangat kencang. Aku merasa badanku terdorong ke atas dan terhembus ke udara, aku segera membuka mataku dan melihat ayahku semakin menjauh. Aku mengulurkan tanganku mencoba menggapai ayah, airmata tidak tertahan. Pandanganku terhadap ayah dengan cepat menghilang dan semua berubah menjadi putih. Aku mengejapkan mata, rasanya aku tertarik ke atas dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Bagian – bagian tubuhku seperti akan lepas, pikiranku kacau balau.
Seketika semua tekanan tadi terhenti dan aku merasakan hangat di tubuhku, hangat yang sangat nyaman. Kubuka mataku dan kulihat sekeliling, ada lampu yang mirip dengan matahari, tetapi tidak ada air yang menetes. Satu – satunya wajah yang kulihat hanya ibuku tercinta tersenyum di hadapanku. Air mulai menetes lagi, air kebahagiaan.
Sampai jumpa ayah…

Karya : Fairuz Gianirfan N

2 comments: